Hizbullah Tawarkan Bantuan, Perlawanan terhadap Pemberontak Suriah
Hizbullah akan membantu pemerintah Suriah dalam melawan para pemberontak dan meminta negara-negara Arab untuk memberikan dukungan kepada Damaskus. Pernyataan ini disampaikan oleh Pemimpin Hizbullah, Naim Qassem, dalam pidatonya pada hari Kamis. Menurutnya, agresi terhadap Suriah didukung oleh Amerika dan Israel, dengan pemberontak menjadi alat mereka sejak awal konflik pada tahun 2011.
Suriah terperangkap dalam konflik yang berkepanjangan sejak berbagai kelompok antipemerintah berusaha menggulingkan Presiden Bashar Assad. Pasukan pemberontak, termasuk pejuang asing yang didukung militer dari luar negeri, menjadi kekuatan dominan di antara pihak oposisi. Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menuntut pengunduran diri Assad, namun Rusia turut campur tangan dengan memberikan dukungan udara kepada Damaskus.
Meskipun pasukan Assad berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah Suriah, beberapa tempat seperti provinsi Idlib masih berada di luar jangkauannya. Situasi semakin memburuk ketika kelompok pemberontak Hayat Tahrir-al-Sham melancarkan serangan besar-besaran di wilayah barat laut Suriah. Mereka berhasil merebut sebagian besar wilayah di Aleppo dan Idlib, serta mengepung kota Hama.
HTS, yang merupakan organisasi teroris di mata Suriah, Rusia, Iran, AS, dan negara-negara lain, dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas Suriah. Qassem menuduh AS berusaha menciptakan kekacauan di Suriah demi kepentingan Israel. Namun, ia tetap berharap Damaskus dapat mengatasi pemberontakan tersebut.
Hizbullah juga mengimbau negara-negara Arab dan komunitas Muslim untuk membantu Suriah melawan pemberontak. Mereka mengecam sikap diam orang-orang Arab terhadap konflik di Suriah, sambil membandingkannya dengan perang di Gaza dan serangan Israel terhadap Lebanon. Hizbullah juga menunjukkan solidaritas dengan warga Palestina di Gaza dengan menembaki wilayah Israel.
Pada awalnya, Israel melakukan invasi ke Lebanon selatan dan meningkatkan serangan udara di Beirut serta kota-kota lain. Namun, gencatan senjata terjadi setelah kesepakatan bahwa Pasukan Israel harus menarik diri dalam waktu 60 hari dan menyerahkan kendali wilayah yang dikuasai kepada tentara Lebanon. Komite internasional juga akan menangani pelanggaran yang terjadi.
Hingga saat ini, Israel dilaporkan telah melakukan lebih dari 129 pelanggaran gencatan senjata. Semoga kedamaian dapat segera terwujud di kawasan tersebut.